Skip to main content

Barasukma (8)

Aku menemukan sebuah kotak lama yang tak pernah kau biarkan siapa saja membukanya.
Mengapa?
Aku manusia yang percaya, bahwa ketika kenangan itu sudah dirasa biasa saja, kau akan dengan mudahnya bercerita tanpa perlu mengingat luka lama.
Begitu rapatnya kau menutup dengan dusta rapi entah apa maksudnya.

Percakapan itu bermula dari sepenggal sajak yang bukan tak sengaja aku kutip.
“Lepas, lepaslah cemburu, sesudah itu abu. Selama aku dan kamu dekat. Tak masalah”.
Kita tidak sedang berdebat kata, kita hanya ingin membenarkan keyakinan. Ini semakin membuatku tahu bahwa menyampaikan perasaan lewat isyarat kata tak selamanya akan sampai dengan mulus ke hati yang dituju, karena isyarat tetaplah isyarat, dan bagaimanapun kata yang mewakili perasaan lebih sering tertangkap tak sama di setiap hati yang berbeda.

Ini adalah tentang cemburu. Dulunya, bagiku cemburu hanyalah rindu yang kurang beruntung. Rindu yang menutup sedikit saja hal wajar bisa nampak begitu menusuk menjadi sesuatu yang busuk.

Sekarang, cemburu itu meruntuhkan segala impian yang sempat aku rajut, meporak-porandakan bilah tempat aku berpijak sampai jatuh tersungkur. Yang ku kira aku menaiki anak tangga tertinggi di antara perempuan lain, kini runtuh setelah aku tahu ada yang lebih tinggi yang pernah kau daki.

Bagaimana ia tak kusebut pengabaian ketika bukan aku wanita yang pertama kau perjuangkan.
Apakah harus lebih tinggi lagi agar ku rasakan jatuh yang lebih sakit lagi?

Tuhan,
Bolehkan aku bersajak meski Kau sudah tahu apa yang sebenar-benarnya aku resahkan.
Bolehkan aku berpikir bahwa aku istimewa sementara pernah ada yang diberi sekarung berlian.

Ini bukan tentang materi, namun seberapa kau pernah berjuang yang lebih dari ini.

Inikah alasan kau menganggap pergiku, upayaku, apa yang aku miliki, dan segalanya terlalu biasa karena ada yang lebih banyak yang pernah kau lakukan?

Kepada tangis yang kau jatuhkan manakala dia berdarah sementara kau menantangku untuk pingsan dan tak bernyawa.
Kepada cincin yang kau berikan demi memintanya kembali namun kau usir aku berulang kali.
Kepada mukena yang tulus kau berikan sementara tiap malam aku menyudahi tahajudku sendiri.
Kepada tahun-tahun yang kau sembunyikan agar tak terjamah orang pada kotak kayu untukmu seorang diri.
Kepada dia yang sempat kau perjuangkan sebelumnya.

Kepada dia... aku cemburu.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...