Aku menemukan sebuah kotak lama yang tak pernah kau biarkan siapa saja membukanya.
Mengapa?
Aku manusia yang percaya, bahwa ketika kenangan itu sudah dirasa biasa saja, kau akan dengan mudahnya bercerita tanpa perlu mengingat luka lama.
Begitu rapatnya kau menutup dengan dusta rapi entah apa maksudnya.
Percakapan itu bermula dari sepenggal sajak yang bukan tak sengaja aku kutip.
“Lepas, lepaslah cemburu, sesudah itu abu. Selama aku dan kamu dekat. Tak masalah”.
Kita tidak sedang berdebat kata, kita hanya ingin membenarkan keyakinan. Ini semakin membuatku tahu bahwa menyampaikan perasaan lewat isyarat kata tak selamanya akan sampai dengan mulus ke hati yang dituju, karena isyarat tetaplah isyarat, dan bagaimanapun kata yang mewakili perasaan lebih sering tertangkap tak sama di setiap hati yang berbeda.
Ini adalah tentang cemburu. Dulunya, bagiku cemburu hanyalah rindu yang kurang beruntung. Rindu yang menutup sedikit saja hal wajar bisa nampak begitu menusuk menjadi sesuatu yang busuk.
Sekarang, cemburu itu meruntuhkan segala impian yang sempat aku rajut, meporak-porandakan bilah tempat aku berpijak sampai jatuh tersungkur. Yang ku kira aku menaiki anak tangga tertinggi di antara perempuan lain, kini runtuh setelah aku tahu ada yang lebih tinggi yang pernah kau daki.
Bagaimana ia tak kusebut pengabaian ketika bukan aku wanita yang pertama kau perjuangkan.
Apakah harus lebih tinggi lagi agar ku rasakan jatuh yang lebih sakit lagi?
Tuhan,
Bolehkan aku bersajak meski Kau sudah tahu apa yang sebenar-benarnya aku resahkan.
Bolehkan aku berpikir bahwa aku istimewa sementara pernah ada yang diberi sekarung berlian.
Ini bukan tentang materi, namun seberapa kau pernah berjuang yang lebih dari ini.
Inikah alasan kau menganggap pergiku, upayaku, apa yang aku miliki, dan segalanya terlalu biasa karena ada yang lebih banyak yang pernah kau lakukan?
Kepada tangis yang kau jatuhkan manakala dia berdarah sementara kau menantangku untuk pingsan dan tak bernyawa.
Kepada cincin yang kau berikan demi memintanya kembali namun kau usir aku berulang kali.
Kepada mukena yang tulus kau berikan sementara tiap malam aku menyudahi tahajudku sendiri.
Kepada tahun-tahun yang kau sembunyikan agar tak terjamah orang pada kotak kayu untukmu seorang diri.
Kepada dia yang sempat kau perjuangkan sebelumnya.
Kepada dia... aku cemburu.
Mengapa?
Aku manusia yang percaya, bahwa ketika kenangan itu sudah dirasa biasa saja, kau akan dengan mudahnya bercerita tanpa perlu mengingat luka lama.
Begitu rapatnya kau menutup dengan dusta rapi entah apa maksudnya.
Percakapan itu bermula dari sepenggal sajak yang bukan tak sengaja aku kutip.
“Lepas, lepaslah cemburu, sesudah itu abu. Selama aku dan kamu dekat. Tak masalah”.
Kita tidak sedang berdebat kata, kita hanya ingin membenarkan keyakinan. Ini semakin membuatku tahu bahwa menyampaikan perasaan lewat isyarat kata tak selamanya akan sampai dengan mulus ke hati yang dituju, karena isyarat tetaplah isyarat, dan bagaimanapun kata yang mewakili perasaan lebih sering tertangkap tak sama di setiap hati yang berbeda.
Ini adalah tentang cemburu. Dulunya, bagiku cemburu hanyalah rindu yang kurang beruntung. Rindu yang menutup sedikit saja hal wajar bisa nampak begitu menusuk menjadi sesuatu yang busuk.
Sekarang, cemburu itu meruntuhkan segala impian yang sempat aku rajut, meporak-porandakan bilah tempat aku berpijak sampai jatuh tersungkur. Yang ku kira aku menaiki anak tangga tertinggi di antara perempuan lain, kini runtuh setelah aku tahu ada yang lebih tinggi yang pernah kau daki.
Bagaimana ia tak kusebut pengabaian ketika bukan aku wanita yang pertama kau perjuangkan.
Apakah harus lebih tinggi lagi agar ku rasakan jatuh yang lebih sakit lagi?
Tuhan,
Bolehkan aku bersajak meski Kau sudah tahu apa yang sebenar-benarnya aku resahkan.
Bolehkan aku berpikir bahwa aku istimewa sementara pernah ada yang diberi sekarung berlian.
Ini bukan tentang materi, namun seberapa kau pernah berjuang yang lebih dari ini.
Inikah alasan kau menganggap pergiku, upayaku, apa yang aku miliki, dan segalanya terlalu biasa karena ada yang lebih banyak yang pernah kau lakukan?
Kepada tangis yang kau jatuhkan manakala dia berdarah sementara kau menantangku untuk pingsan dan tak bernyawa.
Kepada cincin yang kau berikan demi memintanya kembali namun kau usir aku berulang kali.
Kepada mukena yang tulus kau berikan sementara tiap malam aku menyudahi tahajudku sendiri.
Kepada tahun-tahun yang kau sembunyikan agar tak terjamah orang pada kotak kayu untukmu seorang diri.
Kepada dia yang sempat kau perjuangkan sebelumnya.
Kepada dia... aku cemburu.
Comments
Post a Comment