Skip to main content

Barasukma (7)

kumatangkan sendu pada deret bangku panjang
dan riak sungai ingatan di senarai dedaun jatuh
aku wanita yang dengan mudah kamu dapatkan
yang gemar cengeng menangis sesenggukan
aku memeluk tanah berhumus
aku mencabik-cabik muka buruk yang pernah kau kutuk
bukanlah berparas menawan dan bergelimangan tubuh ini
...mengubur diri
bersama ratusan lirik prosa luka yang menyenandung puisi
hilang sudah dialog puja puji
airmata malam memandikanku dalam ketelanjangan
lemparkan saja tubuh ini
seperti bangkai pada kerumunan anjing agar mereka tak kelaparan lalu mati
satu per satu rasa tanpa jeda sekedar mengeja satu nama
ku tulis rangkai kata pada jiwa terpalung
ba’da ahad kala pagi dini berkabut
aku bukan wanita yang bertahun-tahun kau tunggui kehadirannya
tiba-tiba saja ingin kutulis sebuah resah dengan matamu
seketika itu terhenti di riuh dadaku
lantas membuatnya tergetar napas jenak terhentak-henti
tuas jantung berdetak lebih degup
membuat segalanya seolah menjadi lebih gigil menjelma lebih gugup
bahkan bukan yang kau rela dimiliki orang lain namun mendatangimu ketika butuh pundak sementara
wanita biasa ini menbunuh dukanya sendiri
memporak porandakan harga diri
demi mempertahankanmu tetap di sisi

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...