Skip to main content

Sarinah

“Dibakar ya, Mbak?” kata Asih si bungsu

“Jangan. Lebih enak kalau digoreng. Lebih gurih.” Yuni berjongkok di dekat Inah, kakak sulungnya yang sedang sibuk memotong daging di emperan belakang. Sesekali dia pukul pelan tangan Asih yang menyentuh daging kemerahan dalam baskom. “Heh, amis!” larang Yuni. Pagi masih terlalu muda ketika keduanya riuh berdebat tentang seonggok daging tikus.

Inah menyayati urat demi urat sambil meredam bunyi kelaparan dari dalam perutnya. Beberapa hari ini dia harus mengesampingkan kenyang demi berbagi nasi dengan kedua adik perempuannya. Beruntung pagi ini ada tikus yang sedang sial tertangkap jebakan. Langsung saja mereka mangsa dengan rasa dendam karena beras sekepal hasil jerih payah memulung dijajah tikus-tikus sialan.

Inah memasukkan daging-daging yang terselimuti sedikit butiran garam kasar ke dalam wajan. Dari balik uap panas sisa minyak jelantah di penggorengan, Inah memandang ke jalanan belakang rumah. Beberapa anak terlihat berlarian membawa kembang api menyala. Ledakan kecil berwarna kuning kemerahan dari percikan kembang api sisa tahun baru itu membuat Inah bergidik ngeri. Ingatannya seperti diserang letupan-letupan satir dari luka yang belum kering.

Bertahun-tahun lalu, ketika Yuni baru belajar berjalan dan Asih si bungsu masih di dalam perut Ibunya, Inah berdiri termangu di prosesi pemakaman sang ayah. Dia terakhir melihat wajah sang ayah yang penuh luka dan sebagian tubuh yang hampir hancur diselimuti kafan putih.

Dua malam setelahnya, Inah menemani ibunya tanpa tidur. Hidup mereka dihantam beban besar sejak itu. Inah putus sekolah. Yuni kurus kering karena gizi yang tidak tercukupi. Ibunya harus menjadi buruh cuci untuk makan sehari-hari. Terkadang Inah mengemis dengan Yuni di dalam gendongannya. Jika ketahuan sang Ibu, Inah akan kena pukul. “Boleh memulung, asal tidak mengemis!” ujar sang Ibu tegas kepada Inah. Uang tunjangan yang diberikan pemerintah karena kematian sang Ayah sudah terpakai untuk kelahiran Asih dan sebagian untuk biaya hidup yang juga tidak bisa digunakan seterusnya.

Ledakan disalah satu ruas jalan ibu kota itu membawa kedukaan abadi bahkan sampai saat ini. Ayahnya yang kala itu melintas berjalan kaki terhempas beberapa meter dari depan sebuah gedung dan tewas di lokasi.

“Mbak, itu lho. Nanti gosong!” suara melengking Yuni mengagetkan Inah.

“Bisa makan daging tikus saja sudah syukur,” gumam Inah. Begitu Inah meletakkan daging goreng itu ke dalam piring, kedua adiknya bangkit berdiri lalu mengekor Inah tidak sabar. Begitu lahap ketiganya makan dari sepiring nasi bersamaan.

Beberapa anak yang tadinya bermain kembang api datang menghampiri Asih dan Yuni. Mereka sudah mengenakan pakaian rapi. “Asih... ayo ngaji!” ajak anak-anak itu serentak.

Asih dan Yuni menatap sang kakak seperti meminta persetujuan.

Inah mengangguk. “Kalian saja. Kakak di rumah.”

Keduanya langsung menghampiri segerombol anak kampung itu dan berlari.

Inah masih berdiam diri. Masih ada kebencian di hatinya yang tak pasti kepada siapa. Mungkin agama. Mungkin negara. Negara besar yang tidak paham benar trauma gadis kecil sepeninggalan ayahnya. Sesekali dia berharap sang ayah kembali agar mereka bisa makan daging tanpa perlu berburu tikus lagi. Barangkali sang Ayah akan bercerita tentang siapa yang patut dibela. Penyerangan bertahun-tahun silam meninggalkan serdadu-serdadu bersenjata di dalam dirinya. Batinnya berkecampuk tentang kebenaran yang tidak pernah dia ketahui, tentang apa yang lebih besar daripada mendamaikan sebuah tragedi, yaitu berdamai dengan diri sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...