Skip to main content

Pagut Malam, Sisa Luka, dan Rasa yang Tidak Ada Habisnya


Selamat malam muara rinduku. Lelahkah? Kemari. Istirahat di pangkuanku sembari kuceritakan sebuah kisah tentang dua orang yang membuang-buang waktu untuk sebuah pertikaian tidak mutu.

Lelakiku, dengarlah....

Malam menjelma bak binar matanya yang pekat namun berkilauan. Pada kebenaran yang tekuak, ada wanita yang menangis saking tak sanggupnya mengutarakan muak. Bulir bening tidak lagi mengalir namun masih berjelaga. Dia duduk seorang diri memamah sisa-sisa luka remeh yang dia umpat untuk tidak semestinya ada. Seorang pria memunggunginya dan menanti, membiarkan si wanita berdamai dengan lukanya sendiri.

Wanita itu memeluk pria yang setengah telanjang dari belakang. Biar luruh segenap hati dan apa-apa yang tidak sanggup disuarakan sama sekali. Rentanglah bahu si pria, membiarkannya dijubahi laku wanita yang tidak lagi berani mendewakan emosi.

Lelakiku, bayangkanlah....

Mereka mendudukkan wajah dalam-dalam, merasa malu pada janji yang sudah dikesampingkan oleh amarah. Perlahan pria mengarak keangkuhan jauh-jauh biar keduanya tak bersekat. Dia poles sisa-sisa kelabu untuk kembali bersih tak berdebu. Malam mereka semestinya lebih indah dari sekedar dongeng puteri raja. Telah tumpah segenap asa putih dengan kelembutan bak kapas-kapas bertebaran. Berpestalah mereka di sepanjang malam sampai kelelahan.

Beberapa hal memang lebih baik jika tidak diketahui sama sekali. Lantaran apa yang si pria upayakan jauh lebih banyak dari sekedar segala yang musti dia ikhlaskan. Wanita itu membuka sedikit tirai biru untuk memandang ke langit luar.

“Kapan ya turun hujan?” katanya mengingat kembali pertama kali keduanya merebahkan lelah di iringi percikan hujan yang basah. Sudah bulan ke sepuluh lagi sejak bertahun-tahun pelarian yang rapuh. Semua sudah utuh. Semua sudah kukuh.

Kini. Lelakiku, tidurlah.... 

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Perempuan dalam Kamar

"Mas, bangun. Jam piro iki.". Sirine macam apa itu yang mampu membuat jiwaku yang sedang melayang-layang langsung kembali ke peraduannya. Oh, rupanya suara ibuku. Sudah pukul setengah tujuh pagi. Entah berapa jam bersama perempuan itu, sampai aku dibuatnya menyerah. Mataku berat, tapi cukup dapat melihat celanaku sudah basah. Lalu aku bangkit dan menuju kamar mandi. Menyirami sisa-sisa peluh bekas gulatan tadi malam. Di kantor sebelum jam makan siang. Ketika melewati lobi, aku melirik ke lekuk wajah perempuan di belakang meja kerjany. Entah menyadari lemparan pandanganku atau memang dia juga ingin menatapku, sedetik kemudian mata kami beradu. Dia tersenyum manis, sangat manis, seperti senyum yang aku lihat dalam cumbuan itu. Aku melangkah mendekat, sembari mengingat isi dompet yang mungkin cukup untuk mengajaknya makan siang bersama. Tinggal beberapa meter, tapi sialnya... "Ayo kita makan.". Rekan kerjaku mengecup mesra keningnya. Mereka bangkit, melengga...

100 Hari Tanda Orang Mau Meninggal

Innalillahi wa innailaihi rojiun, datang dari Allah dan selalu kembali kepada-Nya, semoga kita selalu menjadi orang-orang yang selalu mengingat-Nya dan beruntung serta saling mengingatkan. Tanda 100 hari mau meninggal…. Ini adalah tanda pertama dari Allah kepada hamba-Nya dan hanya akan disadari oleh mereka yang dikehendaki-Nya. Walau bagaimanapun semua orang Islam akan mendapatkan tanda ini, mereka ada yang sadar dan ada yang tidak. Tanda ini akan berlaku lazimnya sholat Ashar. Seluruh tubuh yaitu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan menggigil. Contohnya seperti daging lembu yang baru disembelih dimana jika diperhatikan dengan teliti. Kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar. Tanda ini rasanya lezat dan bagi mereka yang sadar dan berdetik dihati bahwa mungkin ini adalah tanda mati, maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sadar akan kehadiran tanda ini. Bagi mereka yang tidak diberi kesadaran atau merek...