Selamat malam muara rinduku. Lelahkah? Kemari. Istirahat di
pangkuanku sembari kuceritakan sebuah kisah tentang dua orang yang
membuang-buang waktu untuk sebuah pertikaian tidak mutu.
Lelakiku, dengarlah....
Malam menjelma bak binar matanya yang pekat namun
berkilauan. Pada kebenaran yang tekuak, ada wanita yang menangis saking tak sanggupnya
mengutarakan muak. Bulir bening tidak lagi mengalir namun masih berjelaga. Dia duduk
seorang diri memamah sisa-sisa luka remeh yang dia umpat untuk tidak semestinya
ada. Seorang pria memunggunginya dan menanti, membiarkan si wanita berdamai
dengan lukanya sendiri.
Wanita itu memeluk pria yang setengah telanjang dari
belakang. Biar luruh segenap hati dan apa-apa yang tidak sanggup disuarakan
sama sekali. Rentanglah bahu si pria, membiarkannya dijubahi laku wanita yang
tidak lagi berani mendewakan emosi.
Lelakiku, bayangkanlah....
Mereka mendudukkan wajah dalam-dalam, merasa malu pada janji
yang sudah dikesampingkan oleh amarah. Perlahan pria mengarak keangkuhan
jauh-jauh biar keduanya tak bersekat. Dia poles sisa-sisa kelabu untuk kembali
bersih tak berdebu. Malam mereka semestinya lebih indah dari sekedar dongeng
puteri raja. Telah tumpah segenap asa putih dengan kelembutan bak kapas-kapas bertebaran. Berpestalah mereka di sepanjang malam sampai kelelahan.
Beberapa hal memang lebih baik jika tidak diketahui sama
sekali. Lantaran apa yang si pria upayakan jauh lebih banyak dari sekedar
segala yang musti dia ikhlaskan. Wanita itu membuka sedikit tirai biru untuk
memandang ke langit luar.
“Kapan ya turun hujan?” katanya
mengingat kembali pertama kali keduanya merebahkan lelah di iringi percikan
hujan yang basah. Sudah bulan ke sepuluh lagi sejak bertahun-tahun pelarian
yang rapuh. Semua sudah utuh. Semua sudah kukuh.
Kini. Lelakiku, tidurlah....
Comments
Post a Comment