Harapan itu semestinya hidup, bukan sekedar peluh yang jatuh entah kemana seusai mereka bercinta. Barangkali peluh terhapus tissue atau memuai seketika dan hilang begitu saja. Harapan sewajarnya dipelihara. Dia dibesarkan. Dan dia dirawat sebaik-baiknya. Lantas kalau sudah besar akan diapakan? Bukankah akan lebih berat membawa sesuatu yang besar? Kalau tak bisa dijinjing, kau bisa memikulnya bersama seperti kata pepatah lama. Yakinkah mereka mempunyai harapan? Mungkin pernah mempunyai. Sama-sama mempunyai. Masihkah mempunyai? Tidak jika keduanya bercinta tanpa rasa cinta yang sesungguhnya. Tapi siapa yang memperdebatkan cinta jika otak hanya berfikir bagaimana mencapai puncak orgasme saat itu juga. Siapa yang tak lelah kalau membangun harapan, diambrukkan, membangunnya lagi, diretak-ambrukkan lebih hancur lagi, membangun harapan lebih lagi. Si perempuan menciumi si lelaki pelan-pelan. Dia memorikan aroma tubuh, lekuk demi lekuk, dan segala relung yang bisa dia nikmati sendiri ...
Kenapa harus berlari jauh kalau terkadang ketenangan kecil justru yang memberi kebahagiaan