Skip to main content

Barasukma (1)

Ekspektasi telah menipuku dengan rencana-rencana yang aku kira sudah rapi. Mungkin jeda yang ada terlalu menganga untuk dijejali ingatan masa lalumu. Atau mungkin hubungan kita tak seerat adanya. Sekali ini tanpa terniat, sungguh. Padahal sepi-mu sesepi sepi-ku. Hanya saja lakon yang ada di kepala kita berbeda. Kamu dengan semua yang bersembunyi di belakangmu. Aku dengan semua yang terbayang di atas kepalaku. Di sebalik episode mimpi putih yang menebar wangi janji pecinta, kamu menarikan gemulai pesona kekinianmu sembari menembang nyanyi sunyi gulanamu. Kebohonganmu jelas dikenal lebih baik daripada kebenaran yang masih tertutupi.

Aku mau bangun. Aku mau bangun tapi niatku tersandung janji-janji lamamu. Aku tahu. Kelak ini hanya akan menjadi satu lawakan yang aku tertawakan kala mereka bertanya kenapa aku bisa sekuat itu. Aku paham benar medan yang harus aku hadapi setelah ini. Kalaupun ini kuanggap tak terselesaikan, maka kutitipkan benci yang belum bisa aku rasa karena masih ada sisa-sisa cinta yang brengsek dan entah mau dibuang kemana. Kelak akan kutagih. Ketika aku lebih bisa memaknai sebab apa yang membuat kita bisa tanpa berempati satu sama lain lagi seperti sekarang ini.

"Aku tidak cinta lagi. Benci aku. Balas aku dengan menjadi sukses sampai aku sakit hati karena kesuksesanmu"

Iya. Aku tahu. Aku tahu benar aku sedang didewasakan setelah dipaksa mengikhlaskan yang terlalu. Ibuku tahu benar jawaban apa yang harus beliau berikan ketika aku menangis sejadi-jadinya di pangkuannya kali ini. Jawaban yang masih diplomatis ketika luka yang pernah aku alami sebelum-sebelumnya. Jawaban yang masih sama ketika aku merasa jatuh dulu-dulunya. Cinta lagi. Jatuh lagi. Cinta lagi. Terus seperti itu. Dan tiap-tiap kata bijak ketika aku benar-benar jatuh. Aku paham benar itu. Semua kata bijak yang seperti tersenyum licik padaku sembari mengolok "Hey, inilah hidup". Hidup yang terkadang seperti jalan yang kita lewati setelah pulang lembur dini hari. Lampu-lampu di kiri kanan jalan yang sesaat menerangi. Kemudian gelap kembali. Terang lagi. Gelap lagi. Hingga kita benar-benar sampai ke tempat kita pulang. Rumah.

Ya. Selamat berpulang, kamu yang kini tak lagi sanggup aku panggil sayang. Selamat berpulang setelah waktumu singgah sebentar denganku. Aku juga akan pulang nanti. Ke rumahku. Dan aku yakin itu bukan kamu.

Nanti. Akan kuceritakan pada siapa yang aku temui setelah ini bagaimana suatu hal besar kadang dibuat dari sebuah luka yang teramat keji. Nanti

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Perempuan dalam Kamar

"Mas, bangun. Jam piro iki.". Sirine macam apa itu yang mampu membuat jiwaku yang sedang melayang-layang langsung kembali ke peraduannya. Oh, rupanya suara ibuku. Sudah pukul setengah tujuh pagi. Entah berapa jam bersama perempuan itu, sampai aku dibuatnya menyerah. Mataku berat, tapi cukup dapat melihat celanaku sudah basah. Lalu aku bangkit dan menuju kamar mandi. Menyirami sisa-sisa peluh bekas gulatan tadi malam. Di kantor sebelum jam makan siang. Ketika melewati lobi, aku melirik ke lekuk wajah perempuan di belakang meja kerjany. Entah menyadari lemparan pandanganku atau memang dia juga ingin menatapku, sedetik kemudian mata kami beradu. Dia tersenyum manis, sangat manis, seperti senyum yang aku lihat dalam cumbuan itu. Aku melangkah mendekat, sembari mengingat isi dompet yang mungkin cukup untuk mengajaknya makan siang bersama. Tinggal beberapa meter, tapi sialnya... "Ayo kita makan.". Rekan kerjaku mengecup mesra keningnya. Mereka bangkit, melengga...

100 Hari Tanda Orang Mau Meninggal

Innalillahi wa innailaihi rojiun, datang dari Allah dan selalu kembali kepada-Nya, semoga kita selalu menjadi orang-orang yang selalu mengingat-Nya dan beruntung serta saling mengingatkan. Tanda 100 hari mau meninggal…. Ini adalah tanda pertama dari Allah kepada hamba-Nya dan hanya akan disadari oleh mereka yang dikehendaki-Nya. Walau bagaimanapun semua orang Islam akan mendapatkan tanda ini, mereka ada yang sadar dan ada yang tidak. Tanda ini akan berlaku lazimnya sholat Ashar. Seluruh tubuh yaitu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan menggigil. Contohnya seperti daging lembu yang baru disembelih dimana jika diperhatikan dengan teliti. Kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar. Tanda ini rasanya lezat dan bagi mereka yang sadar dan berdetik dihati bahwa mungkin ini adalah tanda mati, maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sadar akan kehadiran tanda ini. Bagi mereka yang tidak diberi kesadaran atau merek...