Ekspektasi telah menipuku dengan rencana-rencana yang aku kira sudah rapi. Mungkin jeda yang ada terlalu menganga untuk dijejali ingatan masa lalumu. Atau mungkin hubungan kita tak seerat adanya. Sekali ini tanpa terniat, sungguh. Padahal sepi-mu sesepi sepi-ku. Hanya saja lakon yang ada di kepala kita berbeda. Kamu dengan semua yang bersembunyi di belakangmu. Aku dengan semua yang terbayang di atas kepalaku. Di sebalik episode mimpi putih yang menebar wangi janji pecinta, kamu menarikan gemulai pesona kekinianmu sembari menembang nyanyi sunyi gulanamu. Kebohonganmu jelas dikenal lebih baik daripada kebenaran yang masih tertutupi.
Aku mau bangun. Aku mau bangun tapi niatku tersandung janji-janji lamamu. Aku tahu. Kelak ini hanya akan menjadi satu lawakan yang aku tertawakan kala mereka bertanya kenapa aku bisa sekuat itu. Aku paham benar medan yang harus aku hadapi setelah ini. Kalaupun ini kuanggap tak terselesaikan, maka kutitipkan benci yang belum bisa aku rasa karena masih ada sisa-sisa cinta yang brengsek dan entah mau dibuang kemana. Kelak akan kutagih. Ketika aku lebih bisa memaknai sebab apa yang membuat kita bisa tanpa berempati satu sama lain lagi seperti sekarang ini.
"Aku tidak cinta lagi. Benci aku. Balas aku dengan menjadi sukses sampai aku sakit hati karena kesuksesanmu"
Iya. Aku tahu. Aku tahu benar aku sedang didewasakan setelah dipaksa mengikhlaskan yang terlalu. Ibuku tahu benar jawaban apa yang harus beliau berikan ketika aku menangis sejadi-jadinya di pangkuannya kali ini. Jawaban yang masih diplomatis ketika luka yang pernah aku alami sebelum-sebelumnya. Jawaban yang masih sama ketika aku merasa jatuh dulu-dulunya. Cinta lagi. Jatuh lagi. Cinta lagi. Terus seperti itu. Dan tiap-tiap kata bijak ketika aku benar-benar jatuh. Aku paham benar itu. Semua kata bijak yang seperti tersenyum licik padaku sembari mengolok "Hey, inilah hidup". Hidup yang terkadang seperti jalan yang kita lewati setelah pulang lembur dini hari. Lampu-lampu di kiri kanan jalan yang sesaat menerangi. Kemudian gelap kembali. Terang lagi. Gelap lagi. Hingga kita benar-benar sampai ke tempat kita pulang. Rumah.
Ya. Selamat berpulang, kamu yang kini tak lagi sanggup aku panggil sayang. Selamat berpulang setelah waktumu singgah sebentar denganku. Aku juga akan pulang nanti. Ke rumahku. Dan aku yakin itu bukan kamu.
Nanti. Akan kuceritakan pada siapa yang aku temui setelah ini bagaimana suatu hal besar kadang dibuat dari sebuah luka yang teramat keji. Nanti
Comments
Post a Comment