Skip to main content

Bayam Kebasian


“Hallo, apa kabar?” Pria itu mengulurkan tangan kekarnya.

Petang mendatangi senyap. Perlahan menelan biduk matahari ke peraduan dan bergerumul awan seperti kabut asap perih. Mata tajam itu berpendar bak bias mercury. Manis. Senyum sepinya masih bertahta sampai aku menyambut tangannya pelan-pelan. Dia dan semua cerita yang belum temui ujungnya masih berlarian di pembuluh darah. Dia belum bernyali membuka percakapan. Apalagi sekedar menyampaikan proposal sayang. Bukan karena saking pengecutnya. Kami masih saling sungkan pada cincin yang sama-sama melingkar di jari manis masing-masing.

“Baik, kamu baik?” Tentu baik. Tak sama ketika kami memutuskan mengakhiri cerita tanpa restu siapapun yang tau. Tentu baik. Dengan segala hal yang menyambutnya di rumah berlantai dua dengan halaman parkir yang bisa dia pakai bermain sepak bola. Tentu baik. Bersama gadis yang dia nikahi tiba-tiba tak genap 8 minggu setelah punggungnya hilang dari pintu paviliunku.

Dia mengetuk-ngetuk ringan meja dengan jari-jarinya. Kami mencoba menukar pikiran di antara tatapan diam. Andai mimpi dan takdir dapat ditukar. Mungkin bangku-bangku kaku ini hampir bunuh diri diduduki kami yang tak tahu harus memperbincangkan apa selain kabar. Sampai pramusaji datang dan pecah sudah bungkam. 

“Masih suka sayur bayam dan tempe goreng ternyata,” katanya sembari mencoba menampakkan deretan gigi dan simpul bibir membentuk senyum kecil. 

“Haha. Iya.” Tahun berlalu tak merubah seleraku, mas. 

Dalam hati aku bergumam. Sama halnya tak merubah seleraku akan dia. Pria yang dengan sekali tarikan nafas mengucap nama seorang  gadis di depan penghulu. Kami menelan makanan dan penebusan sakit yang sama-sama mengenyangkan. Tiba-tiba hujan terpecah. 

“Tadi naik apa?” 

“Taksi,” jawabku datar. 

“Aku antar sekalian.” Dia mensejajari langkahku ke arah luar. “Mau mampir dulu? Istrimu baik-baik saja, kan?” 

Lalu obrolan kami ditelan riuh orang panik berlindung dari hujaman air-air dari langit yang mulai malam. 

Biar saja. Biar saja seperti sayur bayam. Yang segar ketika baru masak. Tanpa ada kuasa menghangatkannya kembali seperti sedia kala. Toh sudah tak bisa. Kami hanya bisa menikmati sampai habis ditelan basi. 

Dua orang pria berjalan bersama memasuki mobil merah tua. Lalu malam larung bersama rindu dan peluh kami berdua.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...