“Hallo, apa kabar?” Pria itu mengulurkan tangan kekarnya.
Petang mendatangi senyap. Perlahan menelan biduk matahari ke
peraduan dan bergerumul awan seperti kabut asap perih. Mata tajam itu berpendar
bak bias mercury. Manis. Senyum sepinya masih bertahta sampai aku menyambut
tangannya pelan-pelan. Dia dan semua cerita yang belum temui ujungnya masih
berlarian di pembuluh darah. Dia belum bernyali membuka percakapan. Apalagi sekedar
menyampaikan proposal sayang. Bukan karena saking pengecutnya. Kami masih
saling sungkan pada cincin yang sama-sama melingkar di jari manis
masing-masing.
“Baik, kamu baik?” Tentu baik. Tak sama ketika kami
memutuskan mengakhiri cerita tanpa restu siapapun yang tau. Tentu baik. Dengan segala
hal yang menyambutnya di rumah berlantai dua dengan halaman parkir yang bisa dia
pakai bermain sepak bola. Tentu baik. Bersama gadis yang dia nikahi tiba-tiba
tak genap 8 minggu setelah punggungnya hilang dari pintu paviliunku.
Dia mengetuk-ngetuk ringan meja dengan jari-jarinya. Kami
mencoba menukar pikiran di antara tatapan diam. Andai mimpi dan takdir dapat
ditukar. Mungkin bangku-bangku kaku ini hampir bunuh diri diduduki kami yang
tak tahu harus memperbincangkan apa selain kabar. Sampai pramusaji datang dan
pecah sudah bungkam.
“Masih suka sayur bayam dan tempe goreng ternyata,” katanya
sembari mencoba menampakkan deretan gigi dan simpul bibir membentuk senyum
kecil.
“Haha. Iya.” Tahun
berlalu tak merubah seleraku, mas.
Dalam hati aku bergumam. Sama halnya tak merubah seleraku
akan dia. Pria yang dengan sekali tarikan nafas mengucap nama seorang gadis di depan penghulu. Kami menelan makanan dan penebusan sakit yang sama-sama mengenyangkan.
Tiba-tiba hujan terpecah.
“Tadi naik apa?”
“Taksi,” jawabku datar.
“Aku antar sekalian.” Dia mensejajari langkahku ke arah
luar. “Mau mampir dulu? Istrimu baik-baik saja, kan?”
Lalu obrolan kami ditelan riuh orang panik berlindung dari
hujaman air-air dari langit yang mulai malam.
Biar saja. Biar saja seperti sayur bayam. Yang segar ketika
baru masak. Tanpa ada kuasa menghangatkannya kembali seperti sedia kala. Toh sudah
tak bisa. Kami hanya bisa menikmati sampai habis ditelan basi.
Dua orang pria berjalan bersama memasuki mobil merah tua. Lalu malam larung bersama rindu dan peluh kami berdua.
Comments
Post a Comment