Skip to main content

Sulung

Gelap tiba-tiba menyelambu di haribaan kelam. Gigir dingin menggelayut setengah geram seperti menyeret-nyeret laju roda koper yang bergulir di lantai bandara. Aku mengigil sedikit. Daripada tusukan angin mungkin lebih karena hujat gelisah.

Aku di belahan bumi yang berjarak tak bisa sekali menoleh ke kamar seberang. Tiap-tiap melihat anak melenggang dengan tas sekolahnya, serbuan tanya memburu seolah minta pertanggung jawaban. “Apa tugas-tugas kalian sudah selesai?” pekik dalam hati tak henti.

Ibuku wanita tangguh yang sayangnya tak terlalu melek teknologi. Sementara ayah merantau di belahan bumi lainnya. Sebuah keharusan yang tak perlu penebusan kalau aku turut menjamin kalian dalam hal apapun termasuk pendidikan.

Aku masih ingat ketika salah satu dari saudara kembar itu menangis karena tinta merah di secarik kertas tugas. Sementara pada malam yang sudah dini, aku melihatmu dengan mata setengah bergelayut di depan buku-buku tebal yang ternganga pasrah.

Selepas menelanjangi wajah dari sapuan bedak, aku kembali mengitip ke dalam kamar. Nyala lampu masih menyambar terang dan kamu sudah takhluk terpejam. Kalau saja aku pulang lebih awal pastinya kamu akan menarik ujung bajuku lalu merayu minta diajari.

"Haduh, dek. Beratmu pasti sudah tiga per empatku sekarang,” gumamku seraya menggendongmu ke peraduan kantuk dan nyenyak.

Ternyata bukan hanya nyaman yang membuat seseorang selalu ingin pulang, namun beberapa hal yang tak kuasa untuk ditinggalkan. Kalian salah satunya. Dua gadis yang lahir bersamaan, enam tahun setelahku dari rahim yang sama.

Matahari terbenam tak perlu ragu memikirkan bagaimana siang yang dia tinggalkan. Tidak denganku. Semoga saja beberapa lembar keringatku dan sarana yang walau masih perlu beberapa waktu sampai lunas bisa menjadi bulanmu sejenak. Hingga kalian tak perlu meringkuk di antara gelap karena ilmu yang cukup sebagai penunjuk jalan kelak.

Sungguh, betapa mbak menyayangi kalian sampai tak sanggup mengatakan selain tangis rindu dari kejauhan.

  

Teruntuk si kembar, dari kakak sulung yang masih terus terbang memaknai kepak sayap.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Perempuan dalam Kamar

"Mas, bangun. Jam piro iki.". Sirine macam apa itu yang mampu membuat jiwaku yang sedang melayang-layang langsung kembali ke peraduannya. Oh, rupanya suara ibuku. Sudah pukul setengah tujuh pagi. Entah berapa jam bersama perempuan itu, sampai aku dibuatnya menyerah. Mataku berat, tapi cukup dapat melihat celanaku sudah basah. Lalu aku bangkit dan menuju kamar mandi. Menyirami sisa-sisa peluh bekas gulatan tadi malam. Di kantor sebelum jam makan siang. Ketika melewati lobi, aku melirik ke lekuk wajah perempuan di belakang meja kerjany. Entah menyadari lemparan pandanganku atau memang dia juga ingin menatapku, sedetik kemudian mata kami beradu. Dia tersenyum manis, sangat manis, seperti senyum yang aku lihat dalam cumbuan itu. Aku melangkah mendekat, sembari mengingat isi dompet yang mungkin cukup untuk mengajaknya makan siang bersama. Tinggal beberapa meter, tapi sialnya... "Ayo kita makan.". Rekan kerjaku mengecup mesra keningnya. Mereka bangkit, melengga...

100 Hari Tanda Orang Mau Meninggal

Innalillahi wa innailaihi rojiun, datang dari Allah dan selalu kembali kepada-Nya, semoga kita selalu menjadi orang-orang yang selalu mengingat-Nya dan beruntung serta saling mengingatkan. Tanda 100 hari mau meninggal…. Ini adalah tanda pertama dari Allah kepada hamba-Nya dan hanya akan disadari oleh mereka yang dikehendaki-Nya. Walau bagaimanapun semua orang Islam akan mendapatkan tanda ini, mereka ada yang sadar dan ada yang tidak. Tanda ini akan berlaku lazimnya sholat Ashar. Seluruh tubuh yaitu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan menggigil. Contohnya seperti daging lembu yang baru disembelih dimana jika diperhatikan dengan teliti. Kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar. Tanda ini rasanya lezat dan bagi mereka yang sadar dan berdetik dihati bahwa mungkin ini adalah tanda mati, maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sadar akan kehadiran tanda ini. Bagi mereka yang tidak diberi kesadaran atau merek...