Hal pertama berisi angan tanpa biaya, tak ada yang dipertaruhkan. Bejana memoar-memoar terisi kenangan, bisa perlahan, bisa juga tiba-tiba mengejutkan. Seperti mata pisau tajam dan tak pandang bulu. Karena rindu memang kurang ajar kan, dia seperti ide meloncat-loncat yang bahkan tak sempat dicatat. Sampai pada kenyataan yang kadang menyakitkan dengan segala konsekuensi dan adat. Pada titik itu harapan cuma sebatas batok kelapa dengan dadu di dalamnya. Meski punya enam sisi, manusia hanya punya dua pilihan berjudi. Menang atau kalah.
Hei lelakiku, semalam
sang mimpi nyasar menemuiku sampai mabal hilang arah. Engkau
bersamanya menanya
ulang hal
yang hampir berhasil aku lupa dimamah
endap luka bertahun silam. Leluka mengajariku bagaimana lebih memaknai sebab. Sial, aku masuk pada fase kenangan yang tiba-tiba. Pada malam itu rembulan larung tergesa. Kenapa begitu? Bukankah malam tak habis datang karena sepersekian jiwanya masih rentan di antara batas bayangan? Atau cuma alasan menolak pinangan terik siang? Jangan sampai matahari bakal mengamuk dan mengutuk siangnya hanya karena jatuh hati. Tidak, lelakiku. Matahari jatuh hati atas kemauannya sendiri. Gegara bulan gugup mengintipi di antara remang-remang. Seolah siang begitu berjarak padahal hanya bisa sekali kedipan mata.
Dulu, aku terlalu angkuh untuk cemburu, karena memang tak ada sesuatu yang bisa aku jatuhi rindu. Aku sudah mencoba pelankan ritme jalan amor agar tak terlalu mencumbu dan aku takhluk begitu saja. Karena terlalu manis pun bisa membuat gigi ngilu mengunyah mentah-mentah. Biar saja. Biar saja meluap asal jangan luber tumpah dihisap pasir lupa. Tak akan resah, toh cinta bukan dosa yang tak terampuni apalagi pahala yang musti diijabah.
Ini bukan berduel, ya. Karena mungkin lelaki semenyebalkan kamu pasti lebih punya banyak diksi membuat seorang wanita dibuai manja kata-kata. Hah, kita sama-sama kalah dari dalam, dari hati yang saling sapa duluan. Terima kasih. Terima kasih sudah membuatku jatuh hati dengan begitu cerdasnya. Seperti petuah ibu dulu, dulu sekali ketika pertama kali aku menangis karena ternyata cinta bisa begitu keji mengecewakan. "Saat dewasa, temui lelakimu, lelaki cerdas yang akan kau ajak bicara banyak hal setiap hari".
Dulu, aku terlalu angkuh untuk cemburu, karena memang tak ada sesuatu yang bisa aku jatuhi rindu. Aku sudah mencoba pelankan ritme jalan amor agar tak terlalu mencumbu dan aku takhluk begitu saja. Karena terlalu manis pun bisa membuat gigi ngilu mengunyah mentah-mentah. Biar saja. Biar saja meluap asal jangan luber tumpah dihisap pasir lupa. Tak akan resah, toh cinta bukan dosa yang tak terampuni apalagi pahala yang musti diijabah.
Ini bukan berduel, ya. Karena mungkin lelaki semenyebalkan kamu pasti lebih punya banyak diksi membuat seorang wanita dibuai manja kata-kata. Hah, kita sama-sama kalah dari dalam, dari hati yang saling sapa duluan. Terima kasih. Terima kasih sudah membuatku jatuh hati dengan begitu cerdasnya. Seperti petuah ibu dulu, dulu sekali ketika pertama kali aku menangis karena ternyata cinta bisa begitu keji mengecewakan. "Saat dewasa, temui lelakimu, lelaki cerdas yang akan kau ajak bicara banyak hal setiap hari".
Comments
Post a Comment