Skip to main content

Memoar Jingga

Hal pertama berisi angan tanpa biaya, tak ada yang dipertaruhkan. Bejana memoar-memoar terisi kenangan, bisa perlahan, bisa juga tiba-tiba mengejutkan. Seperti mata pisau tajam dan tak pandang bulu. Karena rindu memang kurang ajar kan, dia seperti ide meloncat-loncat yang bahkan tak sempat dicatat. Sampai pada kenyataan yang kadang menyakitkan dengan segala konsekuensi dan adat. Pada titik itu harapan cuma sebatas batok kelapa dengan dadu di dalamnya. Meski punya enam sisi, manusia hanya punya dua pilihan berjudi. Menang atau kalah. 
 
Hei lelakiku, semalam sang mimpi nyasar menemuiku sampai mabal hilang arah. Engkau bersamanya menanya ulang hal yang hampir berhasil aku lupa dimamah endap luka bertahun silam. Leluka mengajariku bagaimana lebih memaknai sebab. Sial, aku masuk pada fase kenangan yang tiba-tiba. Pada malam itu rembulan larung tergesa. Kenapa begitu? Bukankah malam tak habis datang karena sepersekian jiwanya masih rentan di antara batas bayangan? Atau cuma alasan menolak pinangan terik siang? Jangan sampai matahari bakal mengamuk dan mengutuk siangnya hanya karena jatuh hati. Tidak, lelakiku. Matahari jatuh hati atas kemauannya sendiri. Gegara bulan gugup mengintipi di antara remang-remang. Seolah siang begitu berjarak padahal hanya bisa sekali kedipan mata. 

Dulu, aku terlalu angkuh untuk cemburu, karena memang tak ada sesuatu yang bisa aku jatuhi rindu. Aku sudah mencoba pelankan ritme jalan amor agar tak terlalu mencumbu dan aku takhluk begitu saja. Karena terlalu manis pun bisa membuat gigi ngilu mengunyah mentah-mentah. Biar saja. Biar saja meluap asal jangan luber tumpah dihisap pasir lupa. Tak akan resah, toh cinta bukan dosa yang tak terampuni apalagi pahala yang musti diijabah.

Ini bukan berduel, ya. Karena mungkin lelaki semenyebalkan kamu pasti lebih punya banyak diksi membuat seorang wanita dibuai manja kata-kata. Hah, kita sama-sama kalah dari dalam, dari hati yang saling sapa duluan. Terima kasih. Terima kasih sudah membuatku jatuh hati dengan begitu cerdasnya. Seperti petuah ibu dulu, dulu sekali ketika pertama kali aku menangis karena ternyata cinta bisa begitu keji mengecewakan. "Saat dewasa, temui lelakimu, lelaki cerdas yang akan kau ajak bicara banyak hal setiap hari". 

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.