Skip to main content

Kembali, meski tak ditunggu, meski tak dicari


Semalam aku dikepung serdadu kelam. Mereka menembakiku dengan peluru rindu. Sampai dini hari sujud lailku tersendat airmata pada sajadah kusam dan berlubang. Gemeretas tasbih di sela jemari tak usai. Sementara di luar sana malam berpusing riuh angin. Salamku menutup purnama penuh. Aku masih terpapar terjaga. Di sisi kiriku, seorang bapak memicingkan mata. Dia jauh dekatkan ponsel dari jarak panjang. Tak berapa lama, ia tempelkan di telinga.

“Ini bapak udah di stasiun, keretanya berangkat...,” berlanjut obrolan panjang yang tertelan riuhnya orang berlalu-lalang.

Aku berjalan. Begitu menghentikan kakiku tak jauh dari jalur kereta berhenti, aku terasing dalam atmosfer sepasang manusia yang beradu peluk.

“Capek? Ayo pulang,” kata si wanita lalu mereka lenyap dalam keramaian.

Begitu banyak orang pulang. Mungkin sebanyak itu pula kerinduan yang mereka bawa serta. Aku pun masih menunggu fajar menjemba subuh hingga pagi datang dan membawaku pulang. Pulang pada ibu yang entah apakah dia menungguku. 

Sebenarnya, aku tak benar-benar ingin ditunggu. Karena segala yang aku bawa dari perantauan pun rasanya tak akan cukup berani mengetuk pintu rumah ibu sekarang. Tak seperti orang-orang yang pulang dengan membawa serta banyak barang. Tak seperti orang-orang yang sudah ditunggu di tujuan.

“Segera datang kereta senja utama tujuan Solo Balapan...,” suara memenuhi ruang tunggu stasiun ibu kota. 

Seperti hanya sekali pejaman mata, aku sudah sampai di pagar rumah baru ibu. Ibu berdiam menyambutku.

“Bu, aku pulang.”

Ibu masih diam.

“Aku belum membawa apa-apa, Bu. Apa ibu marah?”

Ibu tetap diam.

“Aku kangen, Bu.” Tangisku pecah.

Jangan kau kira ibuku akan mengusap kepalaku atau mendekapku hangat, nyatanya ibuku selalu diam. Aku tersungkur di tanah, di sisi makam tua di bawah pohon kamboja. Aku pulang. Aku pulang tanpa ada yang menyambut kedatangan. Aku pulang tanpa ada peluk pereda rindu yang terhutang.

“Inikah oleh-oleh yang ibu harapkan?” lalu aku lantunkan Al-Fatihah pelan-pelan.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Perempuan dalam Kamar

"Mas, bangun. Jam piro iki.". Sirine macam apa itu yang mampu membuat jiwaku yang sedang melayang-layang langsung kembali ke peraduannya. Oh, rupanya suara ibuku. Sudah pukul setengah tujuh pagi. Entah berapa jam bersama perempuan itu, sampai aku dibuatnya menyerah. Mataku berat, tapi cukup dapat melihat celanaku sudah basah. Lalu aku bangkit dan menuju kamar mandi. Menyirami sisa-sisa peluh bekas gulatan tadi malam. Di kantor sebelum jam makan siang. Ketika melewati lobi, aku melirik ke lekuk wajah perempuan di belakang meja kerjany. Entah menyadari lemparan pandanganku atau memang dia juga ingin menatapku, sedetik kemudian mata kami beradu. Dia tersenyum manis, sangat manis, seperti senyum yang aku lihat dalam cumbuan itu. Aku melangkah mendekat, sembari mengingat isi dompet yang mungkin cukup untuk mengajaknya makan siang bersama. Tinggal beberapa meter, tapi sialnya... "Ayo kita makan.". Rekan kerjaku mengecup mesra keningnya. Mereka bangkit, melengga...

100 Hari Tanda Orang Mau Meninggal

Innalillahi wa innailaihi rojiun, datang dari Allah dan selalu kembali kepada-Nya, semoga kita selalu menjadi orang-orang yang selalu mengingat-Nya dan beruntung serta saling mengingatkan. Tanda 100 hari mau meninggal…. Ini adalah tanda pertama dari Allah kepada hamba-Nya dan hanya akan disadari oleh mereka yang dikehendaki-Nya. Walau bagaimanapun semua orang Islam akan mendapatkan tanda ini, mereka ada yang sadar dan ada yang tidak. Tanda ini akan berlaku lazimnya sholat Ashar. Seluruh tubuh yaitu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan menggigil. Contohnya seperti daging lembu yang baru disembelih dimana jika diperhatikan dengan teliti. Kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar. Tanda ini rasanya lezat dan bagi mereka yang sadar dan berdetik dihati bahwa mungkin ini adalah tanda mati, maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sadar akan kehadiran tanda ini. Bagi mereka yang tidak diberi kesadaran atau merek...