“Mas, air hangatnya sudah siap.”. Lalu kubiarkan kau melucuti satu per satu peluh bekerja seharian. Ketika belum habis air kau guyurkan dari dalam gayungnya, kau menarikku serta. Tidak lelahkah? Pikirku. Tiba-tiba ... Plaaaaak Semua memaku ketika telapak tanganmu mendarat keras diantara pipi kiriku. Dinding-dinding menjerit mengutuk beberapa detik, ketika kepingan-kepingan yang dibangun percaya kau luluh lantahkan seketika. Kau tumpahkan air yang kau kira terlalu panas sampai membakar amarah dan menyambarkannya ke ulu hatiku. Aku tau kita terkontradiksi serupa mata uang dengan dua sisi. Jadi tolong, cukup kali ini saja tahan sebentar bengismu dan dengarkan aku . Satu satu sajakku terbeku mendendam, berhutanglah jiwa pada hampa ruang. Ah engkau pasti tak tau. Belum cukupkah kesakitan tanpa iba itu . B etapa telah engkau berikan rasa . T etapi begitu mudah engkau menumpahkan pilu diantaranya. D iamku menerima kesakitan . K etika jiwa adalah "kita...
Kenapa harus berlari jauh kalau terkadang ketenangan kecil justru yang memberi kebahagiaan