“Mau ngapain kamu diam di pinggir jembatan? Bukan bunuh diri kan?” “Huss.. ngawur.”, aku memaki Gara dengan nada bercanda. Pandanganku masih menyapu arus-arus pelan sungai di bawah sana. Senja pukul 17.05 seperti biasanya. Di ujung barat sana tak ada apa-apa. Hanya beberapa pohon diantara atap-atap gedung yang mengintip dari kejauhan. Harusnya senjaku adalah matahari berpamitan malu-malu dan pantulan sinarnya di atas kali bengawan. Sekarang senjaku tak lagi sama. Bahkan sekedar menikmatinya pun tak sebebas dulu. Apa kata orang melihat wanita berdiri di pinggir jembatan, diantara bus-bus dan truk-truk besar yang melaju disisinya. “Ayo pulang.”. Gara melangkah dengan anak laki-laki kecil di gandengannya. Aku mengekor jalannya. Sesekali melirik ke arah senja disana. Diujung jembatan, mobil kami teronggok lemah tak berdaya. Entah kerusakan apa yang membuatnya berhenti mendadak. Padahal kami tengah menikmati jalan-jalan sore dikota Bengawan. Jembatan Bacem ...
Kenapa harus berlari jauh kalau terkadang ketenangan kecil justru yang memberi kebahagiaan