"Kita
temenan aja.”
Ikhlas itu
harus, tapi rasa kangen mungkin tak akan bisa dipungkiri. Untuk apa
mempertahankan orang yang bahkan berniat ingin pergi. Aku sudah berusaha
menggenggam talinya, tapi ketika kamu terus berontak, telapakku lecet, perih,
dan mungkin kini aku harus melepaskannya.
Aku menatap kosong layar ponselku. Membaca deretan huruf dalam diam. Ada fotomu disana. Ada kalimat yang kamu tulis disana. Tentang kamu dan teman-teman perempuanmu.
Aku menatap kosong layar ponselku. Membaca deretan huruf dalam diam. Ada fotomu disana. Ada kalimat yang kamu tulis disana. Tentang kamu dan teman-teman perempuanmu.
"Sudahlah. Untuk apa menunggu bbm orang yang bahkan tidak menyadari keberadaan kita.”. Aku memasukkan ponsel ke dalam saku dan kembali bekerja. Dulu, kamu pendonor semangat paling besar dalam hidupku. Sekarang, kamu hilang gitu aja. Ibarat kamu memegang cangkir, ketika tanganmu lelah, ya sudah letakkan saja. Dan kamu memutuskan meletakkan cangkir itu. Tanpa peduli aku ingin mempertahankannya tetap tergenggam.
“Lagi dimana?.” Tiba-tiba saja kamu menelfon.
“Lagi di tempat mbak. Ada apa?”. Aku menjawab gamang.
“Oh ya udah. Pulang jangan malam-malam. Hati-hati.”
“Iya.”
Klek. Sambungan telefon terputus seiring aku menelan ludah berat. Apa maksudnya ini? Apa artinya perhatian ini? Kamu datang, pergi, melepas aku begitu saja, lalu kamu datang lagi, menarik pelan, tapi tak mau menggenggam lagi. Jika saja kamu tau, dengan mendoakanmu dalam sujudku saja aku sudah cukup bahagia.
“Besok aku pulang ke Solo. Kalo mau kita ke Pantai Sundak.”
“ Ya. Liat besok.”
Kamu datang lagi.
Di teras rumahku sabtu itu. Aku menyapamu dengan senyum. Tanpa mengungkit apapun yang sudah terjadi diantara kita. Hanya tersenyum. Dan kamu menggenggam jemariku perlahan.
“Aku kangen kamu.”. Kamu menatapku tulus.
“Aku kangen banget sama kamu.” Kamu mengulanginya.
Kamu meraihku dalam pelukanmu, memintaku untuk kembali kepadamu. Aku menangis. Kamu menarik aku lagi. Kumohon, kali ini jangan melepaskannya.
Sundak, 13 Maret. Senja Hari
Kita menatap lautan. Entah kemana kamu kembarakan fikirmu. Aku melirik sebentar ke arahmu. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku begitu menyayangi manusia ini.
“Berjanjilah untuk tidak meninggalkan aku lagi.” Aku meminta
Kamu diam
“Apa kamu mau ninggalin aku? Aku hanya minta, berjanjilah untuk tidak mengusir aku dari hidupmu lagi.”
Kamu tetap diam. Ada sedikit air di sudut matamu
Aku mohon, apa arti diam itu.
“Jangan tinggalin aku lagi.”
Tak ada jawaban. Aku bangkit dan menyadari kamu mungkin akan meninggalkanku suatu saat nanti. Namun ketika aku hendak berjalan dan kamu tetap tak bergeming, waktunya aku untuk menyingkir. Kenapa kamu kembali dulu kalau hanya ingin pergi lagi? Restu orang tua, jarak yang dulu jauh, masa lalu yang tak bisa kita hindari. Semua sudah kita hadapi bersama. Lantas apa lagi? Apa lagi yang harus kita hadapi? Sesusah apapun asal bersamamu aku yakin hati ini akan yakin menghadapinya. Sekarang aku menyadari, mungkin hanya aku yang ingin berusaha. Lantas kamu masih ragu. Apa aku harus melupakanmu sekarang? Apa aku harus mulai berjalan sendiri sekarang? Kamu mengikuti langkahku dalam diam.
Di antara karang dan deburan ombak Sundak, kamu menggenggam tanganku erat.
“Aku janji, aku ga akan ninggalin kamu lagi. Aku janji.”
Berjalan bersamamu memang tak mudah, tapi aku masih jauh dari kata lelah. Kalaupun ombak begitu hebat menerjang, aku yakin karang itu akan semakin kuat
Comments
Post a Comment