Gelap tiba-tiba menyelambu di haribaan kelam. Gigir dingin menggelayut setengah geram seperti menyeret-nyeret laju roda koper yang bergulir di lantai bandara. Aku mengigil sedikit. Daripada tusukan angin mungkin lebih karena hujat gelisah. Aku di belahan bumi yang berjarak tak bisa sekali menoleh ke kamar seberang. Tiap-tiap melihat anak melenggang dengan tas sekolahnya, serbuan tanya memburu seolah minta pertanggung jawaban. “Apa tugas-tugas kalian sudah selesai?” pekik dalam hati tak henti. Ibuku wanita tangguh yang sayangnya tak terlalu melek teknologi. Sementara ayah merantau di belahan bumi lainnya. Sebuah keharusan yang tak perlu penebusan kalau aku turut menjamin kalian dalam hal apapun termasuk pendidikan. Aku masih ingat ketika salah satu dari saudara kembar itu menangis karena tinta merah di secarik kertas tugas. Sementara pada malam yang sudah dini, aku melihatmu dengan mata setengah bergelayut di depan buku-buku tebal yang ternganga pasrah. Selepas menela...
Kenapa harus berlari jauh kalau terkadang ketenangan kecil justru yang memberi kebahagiaan